Bekraf, Jakarta—Subsektor
seni rupa Tanah Air mengalami pertumbuhan yang positif tak hanya kontribusinya
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tapi juga makin banyak seniman
Indonesia yang diakui di kancah internasional. Hal ini dinilai sebagai momentum
yang harus dimanfaatkan untuk menempatkan seni rupa Indonesia menjadi pusat di
kawasan Asia Tenggara.
Wakil Kepala Badan
Ekonomi Kreatif (Bekraf), Ricky Joseph Pesih, menyampaikan saat ini banyak seniman
Tanah Air yang diundang untuk tampil di sejumlah event internasional. Bahkan
ruangrupa terpilih menjadi tim kurator event seni rupa internasional, Documenta
yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali di Kassel, Jerman.
Di Indonesia, event
seni juga makin banyak, seperti Jakarta Biennale, Jogja Biennale, Makassar
Biennale, Art Bali, Art Jogja, Art Jakarta dan sebagainya. Selain itu, muncul
pula museum seni, seperti Museum Macan.
“Seni rupa juga berdampak
positif untuk pariwisata dengan menarik wisatawan, baik domestik maupun
mancanegara sebagai multiplier effect penyelenggaraan event seni.
Seperti halnya Art Jakarta yang menghadirkan hampir 60 galeri asing. Hal
ini tentu menghadirkan buyer dan kolektor internasional sehingga karya
seniman Tanah Air makin dikenal dan mereka (buyer dan kolektor) belanja,”
ungkap Ricky seusai acara talkshow Lost Verses: Akal Tak Sekali Datang,
Runding Tak Sekali Tiba yang dilaksanakan di Pre-function Area Art Jakarta
2019, Jakarta Convention Center (JCC), Minggu (1/9/2019).
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), subsektor seni rupa menyumbang Rp1,9 miliar pada 2015
dengan laju pertumbuhan 5,69% dan menyerap tenaga kerja 0,25% dari total tenaga
kerja ekraf. Kebanyakan pelaku seni rupa memasarkan produknya di luar negeri,
yakni Singapura (US$586,8 juta), Hongkong (US$464,1 juta), dan Amerika Serikat
(US$457,4 juta).
Di Paviliun Indonesia di Venice
Art Biennale 2019, Tim Artistik mencoba menampilkan kritik pada seni
kontemporer, mengenai persoalan dan risikonya yang digambarkan dalam lima
komponen karya, yakni Meja Runding, Buaian, Susunan Kabinet, Ruang Merokok, dan
Mesin Narasi.
“Komponen relasi antara
teori dan praktik terapat dalam 180 kabinet transparan, dimana menggambarkan situasi
global yang terbuka dengan adanya media social tapi bisa menjadi trap kalau
tidak benar-benar memahami,” ungkap Kurator, Asmudjo Jono Irianto.
Buaian menggambatkan aspek
spectacle melalui ferris wheel yang menggambarkan permainan,
bahaya, dan risiko. Melalui smooking room, ingin menunjukkan ada
perbedaan antara orang yang berada di dalamnya dengan yang berada di luar.
“Banyak makna yang bisa digali, dari pameran di Venice Biennale, tapi tergantung kognisi apresiatornya,” imbuhnya.